Surat Keterangan Tanah Di Luar UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA)

Surat Keterangan Tanah Di Luar UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA)

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) tercantum jenis-jenis hak atas tanah, yaitu :

  1. hak milik;
  2. hak guna usaha;
  3. hak guna bangunan;
  4. hak pakai;
  5. hak sewa;
  6. hak membuka tanah;
  7. hak memungut hasil hutan;

Untuk mendapatkan hak-hak tersebut, setiap orang atau pihak yang terkait dengan keberadaan suatu tanah perlu melakukan pendaftaran. Pendaftaran berdasarkan Pasal 19 ayat 2 UUPA tersebut akan meliputi :

  1. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
  2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
  3. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Surat Keterangan Tanah Di Luar UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA)

Penegasannya ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997), sebagai berikut:

  1. Pasal 1 angka 20 PP 24/1997 : Sertifikat adalah surat tanda bukti hak seperti dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
  2. Pasal 32 ayat 1 PP 24/1997 : Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

Sejumlah Jenis Surat Keterangan Tanah Di Luar UUPA 1960

Dari sudut yang berbeda dalam masyarakat di Indonesia, masih terdapat penggunaan bukti-bukti keterkaitan seseorang atau suatu pihak atas suatu tanah di luar yang tertulis dalam UUPA 1960. Penggunaan bukti-bukti tersebut masih berlangsung karena adanya praktek-praktek yang terjadi sebelum adanya UUPA dan juga terkait hukum adat di suatu daerah. Kita akan mencoba sedikit membahasnya.

Letter C merupakan suatu surat tanah tradisional yang menyatakan kepemilikan hak atas tanah dalam suatu wilayah (wilayah adat) secara turun temurun. Letter C dalam konteks administrasi tanah merujuk pada sebuah register atau dokumen perpajakan yang biasanya tersimpan di kantor desa atau kelurahan. Huruf “C” dalam Letter C sebenarnya tidak memiliki arti khusus dalam alfabet, melainkan berasal dari sistem administrasi pertanahan pada masa kolonial Belanda di Indonesia. Dokumen ini sering kali disebut “Buku C Desa” atau “Register C Desa. ”Sedangkan Letter D atau Petok D adalah surat keterangan kepemilikan tanah yang terbit oleh kepala desa dan camat sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).

Sebelum adanya UUPA 1960, Petok D memiliki kekuatan hukum yang sama dengan sertifikat tanah. Namun, setelah penerapan UUPA, Petok D hanya berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak tanah. Petok D dapat berguna sebagai dokumen pendukung dalam proses pendaftaran tanah sebagai tanda terima kepunyaan hak atas tanah. Sebagian orang di daerah tertentu ada juga yang memberi sebutan girik.

Baik itu Letter C atau D, petok, girik, petok pajak bumi/landrente, pipil, kekitir, verponding, dan mungkin ada sebutan lainnya, merupakan bagian dari Surat Keterangan Tanah (SKT), yaitu surat yang memberikan pernyataan menerangkan hubungan seseorang atau suatu pihak statusnya terhadap suatu tanah di lokasi tertentu. Namun demikian, di suatu daerah tertentu, seperti misalnya di Kalimatan, kebanyakan orang juga tidak mengenal semua sebutan lainnya, melainkan hanya tahu SKT.

Pencatatan Surat Keterangan Tanah

Seharusnya SKT tercatat dan tersimpan di tingkat pemerintahan terbawah, yaitu desa atau kelurahan. Hal tersebut bertujuan guna menyediakan data informasi dan sejarah status suatu tanah terkait dengan orang-orang atau pihak yang pernah mengelolanya. Termasuk penyerahan secara turun temurun, hibah, jual beli, sengketa dan sebagainya.

Hal ini terutama untuk menyediakan kepastian data yang berguna di saat seseorang ingin mendaftarkan tanah tersebut untuk mendapatkan hak yang sesuai peraturan dan perundangan yang telah terbit oleh pemerintah. Seperti misalnya untuk mendapatkan hak milik (SHM), hak guna bangunan, hak guna usaha, atau hak pakai.

Selain itu, data sejarah tersebut akan berguna untuk menghindari penyalahgunaan dan tindak kejahatan pemalsuan dokumen oleh pihak tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, kita tidak bisa dengan serta merta mengambil kesimpulan bahwa surat keterangan tanah bukan merupakan bukti kepemilikan sah atas suatu tanah. Dokumen tersebut masih berfungsi sebagai petunjuk dalam pendaftaran tanah. Hal ini juga untuk menghormati hukum adat atau kearifan lokal yang masih ada berlangsung hingga kini, tidak boleh terabaikan di samping adanya peraturan dan perundangan berlaku yang terbit oleh pemerintah.

Berikut adalah uraian rinci tentang kerugian dan dampak dari status Surat Keterangan Tanah Letter C dari pada sertifikat resmi seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

Kerugian Status Surat Keterangan Tanah

Surat Keterangan Tanah di luar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 memiliki beberapa kelemahan, di antaranya :

  1. Kekuatan Hukum Lemah
    Karena tidak diatur langsung oleh UUPA, Surat Keterangan Tanah tidak memiliki kekuatan hukum sekuat sertifikat resmi yang dikeluarkan BPN, sehingga lebih rentan terhadap sengketa.
  2. Proses Peralihan Hak Rumit
    Berbeda dari sertifikat resmi, pengalihan hak dengan Surat Keterangan Tanah membutuhkan prosedur tambahan dan verifikasi yang rumit, terutama jika terjadi konflik kepemilikan.
  3. Administrasi Tradisional
    Surat Keterangan Tanah umumnya tercatat di tingkat desa atau kelurahan dengan sistem manual, yang mudah rusak dan sulit ditelusuri kembali jika hilang atau rusak.
  4. Tidak Diakui Dalam Transaksi Resmi
    Karena tidak berlandaskan UUPA, Surat Keterangan Tanah kurang diakui oleh lembaga perbankan dan investor, sehingga sulit dijadikan jaminan atau alat transaksi.
  5. Risiko Kehilangan Hak Milik
    Pemilik tanah hanya dengan Surat Keterangan Tanah berisiko tinggi kehilangan hak milik jika ada pihak lain dengan sertifikat resmi atau bukti kepemilikan yang lebih kuat.
  6. Nilai Harga Tanah Menjadi Rendah
    Tanah dengan Surat Keterangan Tanah akan memiliki harga lebih rendah dari pada harga pasaran pada umumnya.
Surat Keterangan Tanah Di Luar UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA)

Biaya Mengurus Ke SHM

Biaya mengurus Surat Keterangan Tanah di luar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 bervariasi, tergantung wilayah, jenis lahan, dan proses yang diperlukan. Berikut perkiraan komponen biaya yang umumnya perlu disiapkan:

  1. Biaya Administrasi di Desa/Kelurahan
    Pengurusan surat ini biasanya membutuhkan biaya administrasi yang ditetapkan oleh desa atau kelurahan, sekitar Rp100.000 – Rp500.000, tergantung kebijakan daerah.
  2. Biaya Pengukuran Tanah
    Jika tanah belum diukur, pemilik perlu mengeluarkan biaya untuk pengukuran oleh petugas dari kantor desa atau kelurahan, sekitar Rp500.000 – Rp1.500.000, tergantung luas lahan.
  3. Biaya Notaris/PPAT (Jika Diperlukan)
    Beberapa pemilik tanah juga menggunakan jasa notaris atau PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk memperkuat dokumen kepemilikan, yang biasanya berkisar Rp1.000.000 – Rp2.500.000.
  4. Biaya Pengurusan Tambahan
    Jika diperlukan dokumen tambahan seperti Surat Keterangan Riwayat Tanah atau Surat Keterangan Tidak Sengketa, biaya tambahan dapat mencapai Rp200.000 – Rp1.000.000.
  5. Biaya Sertifikasi ke BPN (Jika Ingin Dikonversi)
    Untuk mengubah Surat Keterangan Tanah menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM), proses di Badan Pertanahan Nasional (BPN) bisa menambah biaya mulai dari Rp1.000.000 hingga Rp3.000.000, tergantung jenis dan ukuran tanah.

Jumlah total biaya akan bervariasi berdasarkan kebijakan setempat dan kompleksitas tanah yang bersangkutan.

Pentingnya Mengubah Ke SHM

Kepemilikan tanah yang diakui secara sah di Indonesia adalah yang telah bersertifikat, khususnya SHM. Surat Keterangan Tanah Di Luar UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) memiliki kekuatan hukum yang lemah, sehingga penting bagi pemilik tanah untuk segera mengubah status kepemilikannya menjadi SHM. Hal ini akan mempermudah transaksi jual beli serta melindungi hak pemilik di mata hukum.Mengonversi Surat Keterangan Tanah ke SHM adalah langkah penting untuk menjamin kepemilikan yang sah dan menghindari risiko sengketa di kemudian hari. Pastikan untuk mengikuti prosedur yang benar dan memenuhi semua persyaratan agar proses berjalan lancar dan cepat.

Klub Cahaya – PT. CCI

No Comments

Tinggalkan balasan..

WeCreativez WhatsApp Support
Tim Dukungan Pelanggan kami akan menjawab. Silahkan bertanya untuk penjelasan.
👋 Hai.. Apa yang bisa saya bantu?